AKU DAN BATU
Kalau
Ariel “Peterpan” punya pengalaman spiritual yang dia tuangkan dalam karya
berjudul “Aku dan Bintang” ; maka aku juga punya pengalaman personal dengan
titel “aku dan Batu”
 Dalam pengembaraanku
yang random dan kadang tak tentu arah, tak jarang aku bersinggungan dengan batu;
berkesempatan melihat bebatuan dengan ukuran sangat besar. Anehnya, semua itu
seringkali di luar rencana; unplanned visit di sela-sela main event dan destinasi
utama.
Dalam pengembaraanku
yang random dan kadang tak tentu arah, tak jarang aku bersinggungan dengan batu;
berkesempatan melihat bebatuan dengan ukuran sangat besar. Anehnya, semua itu
seringkali di luar rencana; unplanned visit di sela-sela main event dan destinasi
utama.
Beberapa tahun silam, aku sempat terpana dengan bebatuan Granit raksasa (gigantic
granitte) di Pulau Belitung. Bebatuan granit ini menjadi fenomena menarik
dan menjadi sangat terkenal pasca rilis kisah Laskar Pelangi (The Rainbow
Troops) karya Andrea Hirata,  Novelist
jebolan university of Paris dengan buku berjudul Sang Pemimpi. Bebatuan granit
di Belitung ini tinggi menjulang, berbaris rapih di pesisir pantai Tanjung
Tinggi. 
 
Kini, sebulan silam, aku berkesempatan menjelajahi Yunmeng Mountain, sebuah destinasi
penuh bebatuan granit. Yunmeng mountain; berjarak sekitar 85km ke arah
Utara dari kota Beijing; tak cukup jauh hanya menempuh sekitar 2 jam perjalanan.
Yunmeng terkenal akan 2 hal : keindahan alam (natural beauty) dan
formasi bebatuan (geological significance). Tak heran, di wilayah inilah
berdiri kokoh The Great Wall of China, benteng pelindung sekaligus jadi
garis pertahanan paling Utara, yang dibangun Kaisar Qin Shi Huang.
Mungkin sepintas ini hanya bebatuan biasa; tak ada bedanya dengan batu-batu
lainnya.
Ternyata, ketika mendengar tutor dan menjelajah berbagai literasi, bebatuan ini
menyimpan cerita, asal usul, riwayat, dan berbagai informasi menarik lainnya.
Simply i say, Rocks shape our Life in Lithosphere. 
 
Bicara
tentang batu adalah bicara tentang Evolusi tiada akhir dalam Skala Waktu
Geologi. Berangkat dari batu, akan menghantarkan kita pada berbagai fakta
menarik lainnya. 
Sekembalinya
dari Yunmeng, dibaluti rasa penasaran, aku bertanya : “coba elaborasi kisah bebatuan
di Belitung dengan di Yunmeng; dari segala aspek, apa saja persamaan dan
perbedannya?”
ternyata,meskipun
keduanya adalah granit dan terlihat sangat mirip, mereka memiliki cerita
asal-usul, usia, dan sejarah geologis yang sama sekali berbeda.
Granit di Belitung mengalami Pelapukan sfreis/ membola (spheroidal
weathering). Ketika batuan granit yang masif terangkat ke permukaan, air
akan merembes melalui retakan-retakan. Pelapukan kimia dan fisika kemudian
menyerang sudut-sudut dan tepi balok batuan lebih cepat daripada permukaan
datarnya, sehingga seiring waktu bongkahan tersebut menjadi bulat dan licin.  
Selain itu, secara usia, Granit di Belitung lebih dahulu terbentuk dan muncul
ke permukaan. Granit Belitung terbentuk pada Periode Trias (Triassic), sekitar 200-245
juta tahun yang lalu; sedangkan Granit di Yunmeng terbentuk pada Periode
Kapur (Cretaceous), sekitar 125-150 juta tahun yang lalu.
Bebatuan Granit di
Belitung merupakan bagian dari Sabuk Timah Asia Tenggara (Southeast Asian
Tin Belt), salah satu jalur granit terkaya timah di dunia. Makanya bebatuan
di Belitung sangat terkenal karena mengandung mineral berharga, terutama timah
(cassiterite), yang telah ditambang selama berabad-abad. 
Masih ada banyak lagi cerita dan kisah tentang bebatuan. Tetapi lebih daripada
itu, semakin aku mendalami tentang batu, ada terbersit juga makna filosofis,
khususnya tentang eksitensialisme dan humankind.
dalam konteks tentang Worry/cemas berlebih, kadang kita perlu berkaca dalam
perkspektif Kosmik (cosmic perspective), menelaah tentang eksistensi
Manusia sebagai mahkluk special yang hidup dan berdiri di atas “batu kecil”
yang mengapung dalam tatanan semesta. Kita sebegitu kecil, rapuh, dan sementara.
Berinteraksi satu sama lain, kadang berdamai tapi lebih sering bertikai dengan
motif dan tujuan yang sangat variatif. Semua itu kita jalani, sembari berpijak
pada sebuah batu raksasa yang mengapung di semesta, a floating rock. (tentang
ini, bisa baca PALE BLUE DOT)- Carl Sagan. 
Manusia terus
evolusi, hingga ada pada era dimana sekarang lifespan atau rentang masa hidup
kita tak lebih dari 100 tahun. Periode yang sangat singkat jika dilihat dari skala
evolusi Bebatuan; saking singkatnya bahkan tak cukup untuk 2 batu saling
tumpang tindih seperti formasi di foto berikut. 
Ma = Mega Annum (Millions of  years ago) 
mengakhiri tulisan ini, pada awal tadi ada Ariel Peterpan dengan Aku dan Bintang, maka di
akhir tulisan ini ada Kerry Livgren (Kansas band; 1977) dengan lirik nya yang
terkenal :
“Dust in the wind, all we are is dust in the wind”
Medan, 20 Agustus 2025
Dokumentasi lainnya tentang Bebatuan di Yunmeng:






 
 
 
Comments
Post a Comment