TANGGUH BERDIRI DI BUMI TAPANULI
*tulisan ini dimuat di edisi cetak, surat kabar harian Analisa (analisadaily.com) kolom Opini Halaman 12 hari Selasa, 25 Oktober 2022.
Naskah berikut merupakan naskah asli tanpa ada penyuntingan; dipublish di platform ini dengan tujuan edukasi khususnya sebagai upaya mitigasi bencana Gempabumi.
-------------------------------------------------------
TANGGUH
BERDIRI DI BUMI TAPANULI
*Alexander
Felix Taufan Parera Tambunan
Sebelas
tahun telah berlalu sejak terakhir kali wilayah Tapanuli Utara dilanda bencana
diguncang gempabumi merusak. Tepatnya tanggal 14 Juni 2011, BMKG mencatat
terjadinya gempabumi merusak pukul 07:08 wib pagi dengan lokasi pusat gempa (epicenter)
di daerah Sarulla. Representasi besaran energi, atau lazimnya disebut Magnitudo
gempabumi sarulla kala itu di angka 5.5 SR.
Tiga
pekan silam, tepatnya tanggal 01 Oktober 2022, kejadian gempabumi merusak kembali
terjadi di bumi Tapanuli Utara. Kali ini lokasinya di Tarutung dan pelepasan
energinya lebih besar, yakni Magnitudo 5.8 SR. Selaras dengan dampak yang
ditimbulkan, terpantau gempa ini dirasakan hingga skala VI MMI (Modified
Mercalli Intensity) di daerah Tarutung, V MMI di daerah Sipahutar, IV MMI
di daerah Singkil, bahkan terasa hingga
ke wilayah Gunungsitoli dan Sibolga III MMI.
Ceritera
dan berita dalam sajian visual rupa foto dan video dampak kerusakan serta
kepanikan massa pasca gempa begitu cepat menyebar melalui perangkat gawai.
Alhasil, gempa yang terjadi subuh pukul 02:28 wib itu sontak mendapatkan atensi
masif dari seluruh masyarakat baik yang berdiam di Tapanuli Utara maupun
keseluruhan penduduk provinsi Sumatera Utara. Informasi dan narasi terkait
gempabumi yang dipublikasikan oleh pihak BMKG melalui kanal resmi yang
terverifikasi juga cepat beredar sampai ke segala elemen pemangku kepentingan (stakeholder).
Berdasarkan
pengalaman penulis ketika ikut turun ke lapangan sebagai tim reaksi cepat BMKG,
ternyata tidak / belum banyak masyarakat terdampak gempabumi yang cukup tahu
dan paham tentang fenomena bencana gempabumi. Sepengetahuan mayoritas
masyarakat terdampak, bahwasannya gempabumi itu mencekam dan menakutkan. Ada seorang
ibu warga desa Ranggitgit berujar kepada penulis sewaktu survei: “wah, pagi itu sekitar jam setengah tiga,
saya terbangun gara gara semua isi rumah bergoyang. Pokoknya saya rasa ngeri
dan takut, karena rasanya tanah naik turun; saya seperti diblender. Sebenarnya
ini apa dan kenapa baru terjadi sekarang? Katanya ini gempabumi; Apa bakal
seperti ini terus pak?”
Gempabumi
di Tapanuli Utara
Secara
geologi, wilayah Tapanuli Utara merupakan wilayah yang rentan diguncang gempa.
Pemicunya ada beberapa faktor antara lain faktor tektonika Bumi yang berimbas
pada terbentuknya sistem Sesar Besar Sumatera (Great Sumateran Fault) segmen
Sesar Renun dan Sesar Toru serta faktor dinamika geologi. Dinamika geologi ini
menyebabkan adanya cekungan pisah Tarik (pull-apart basin) yang letaknya
tepat di wilayah kota Tarutung. Sesar Renun dan Toru pada periode tertentu akan
“aktif” dan bergejolak melepas energi masif secara tiba tiba (sudden impulse and energy release).
Pelepasan
energi masif secara tiba-tiba inilah yang kita rasakan goncangannya sebagai
gempabumi. Kejadian gempa bisa didahului dengan gempa Magnitudo kecil atau
menengah yang dikenal sebagai guncangan awal (foreshock), atau juga
langsung dengan guncangan utama (mainshock) yang biasanya magnitude
M>5 .
Pada
kejadian gempabumi Tarutung 01 Oktober 2022, gempa yang terjadi tergolong
kategori gempa mainshock-aftershock, yakni gempabumi utama yang kemudian
diikuti serangkaian gempabumi susulan.
Berdasarkan
informasi BMKG Balai Wilayah 1 Sumatera Utara, hingga tanggal 20 Oktober 2022 pasca
kejadian gempa utama M 5.8, telah tercatat 169 kejadian gempabumi susulan
dengan kisaran Magnitudo 1.1 ≤ M ≤ 5.0; dengan catatan, 23 diantaranya
merupakan gempa terasa (guncangannya dirasakan oleh masyarakat).
Selain
karena gempabumi utama akibat aktivitas sesar Sumatera, dampak kerusakan pada
wilayah Tapanuli Utara khususnya pada beberapa kecamatan yakni sebagian
Sipoholon dan Tarutung juga karena berada pada zona cekungan pisah Tarik (pull-apart
basin). Para geologis menyematkan sebutan “graben” untuk wilayah dengan
karakeristik seperti cekungan tersebut.
Graben adalah bagian dari kerak Bumi (crust)
yang bergeser ke bawah, lebih rendah dari wilayah di sekitarnya, sebagai
implikasi dari pergerakan tektonik juga. Pada wilayah graben tidak jarang
terjadi gempa merusak. Sebagai contoh, kejadian gempa 6 SR di Bolaños Graben
(Southern Basin and Range Province,
West-Central Mexico) pada tanggal 6 November 1774 silam. Atau ada juga graben
berukuran cukup luas di wilayah Turki yakni Çivril Graben System (ÇGS).
Graben Civril ini terbentuk pada zona ekstensi di Anatolia bagian barat, Turki.
Kejadian gempa besar di Graben ini pernah tercatat pada tahun 1995 , yakni gempabumi
Dinar 01 Oktober 1995, dengan kekuatan magnitude Mw 6.2 Turki. Bukan hal yang
baru bahwasannya pada zona graben sering mengalami kejadian gempabumi yang
berdampak.
Mitigasi
Berangkat
dari pengetahuan tentang keberadaan Tarutung tergolong sebagai zona graben dan
rawan terhadap guncangan gempabumi, maka sudah sepatutnya semua kita perlu
mengenal potensi ancaman ini sebagai bahaya atau hazard. Mengenal adalah mutlak, tetapi mengenal saja tak cukup.
Mengenal hanyalah sebatas tahapan awal. Tujuan akhirnya, meminimalisir korban
bencana. Jika mungkin, kita dituntut untuk menjadi tangguh, hingga tiada korban
samasekali (zero victim). Agar bisa mencapai ketangguhan terhadap
ancaman bencana, kita perlu solusi berupa mitigasi.
Mengacu
pada Peraturan Pemerintah nomor 2 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan
Penanggulangan Bencana, Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi
resiko bencana baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan
menghadapi ancaman bencana.
Seorang
seismolog (pakar kegempaan) bernama Kerry E. Sieh, yang telah banyak meneliti
terkait kegempaan di Indonesia, pernah menjabarkan tentang lima faktor vital
untuk menyelamatkan kehidupan di zona rentan bencana gempa. Sekiranya dengan benar-benar
menaruh perhatian pada 5 faktor ini, maka kita bisa lebih tangguh untuk
berpijak di atas zona gempabumi, menjalani kehidupan di wilayah renan gempa.
Faktor
vital yang pertama tentang pemahaman sains dasar terkait bencana gempabumi
Tsunami. Semestinya masyarakat lokal yang rentan bisa tahu dan paham
pengetahuan dasar tentang potensi, sebab, resiko, dampak dan akibat bencana
gempabumi terhadap kehidupannya.
Faktor
vital yang kedua tentang rekasi cepat dan tanggap darurat. Terkait institusi
atau lembaga pemerintahan yang bertugas menolong korban bencana. Tentang
terbentuknya tim tanggap darurat yang tahu dan paham siapa bebuat apa saat
terjadi bencana. Tentang sinergitas antar elemen terkait.
Faktor
vital yang ketiga tentang pemahaman akan tanda peringatan dan warning
dari institusi terkait. Semua elemen terdampak mesti paham akan isi setiap
peringatan yang telah diumumkan oleh BMKG. Tidak hanya sekedar tahu tentang isi
peringatan, tetapi selanjutnya harus tahu bagaimana bereaksi.
Faktor
vital yang keempat tentang rute penyelamatan (escape route). Semua
elemen terdampak bencana khusunya masyarakat harus tahu dan paham kondisi
sekitarnya. Harus mengenali daerahnya, dan arah rute evakuasi, jalur
penyelamatan, serta titik evakuasi sementara (TES) dan titik evakuasi akhir
(TEA) saat terjadi bencana.
Faktor
vital yang kelima adalah tentang mitigasi structural. Ini berkaitan dengan
bagaimana semestinya kaidah mendirikan bangunan (structural building) di
atas wilayah yang berpotensi terancam goncangan gempabumi. Dilarang menggunakan
material dengan kualitas buruk atau rentan roboh terhadap goncangan. Sebaiknya,
rumah dengan material kayu berkualitas justru lebih baik dan lebih tahan
goncangan gempa.
Besar
harapan penulis, setiap kejadian bencana gempabumi yang terjadi, bisa
meningkatkan kesadaran dan kepedulian kita akan keselamatan kita. Budaya sadar
bencana khususnya gempabumi harus kita tingkatkan, agar gempa tidak menjadi
momok yang menakutkan bagi siapapun yang berpijak di atas zona gempa. Segala
pengalaman dan pengetahuan menjadikan kita siap untuk selamat dan tangguh
berpijak di bumi Tapanuli tercinta.
*Penulis
adalah PMG Ahli Pengamat Gempabumi yang kini bertugas di BMKG Sumatera Utara,
kantor Geofisika Deli Serdang.
Comments
Post a Comment