PENGEMBANGAN PROFESI DALAM BIDANG KAJIAN ILMU GEOFISIKA
PROFESSIONAL DEVELOPMENT IN GEOPHYSIC
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang Pendidikan S 1
Tentunya
semua kita setuju bahwa Pendidikan adalah salah satu kunci untuk menjalani
hidup di dunia ini. Pendidikan adalah satu faktor yang menyertai tumbuh kembang
manusia sejak lahir hingga menua dan kembali ke Sang Pencipta. Singkatnya,
pendidikan baik formal maupun nonformal adalah sebuah proses yang dinamis.
“Pendidikan itu addict; semakin
banyak kita tahu maka semakin banyak kita tidak tahu;” demikian quote dari
Dr.Ir.Enggar Apriyanto, M.Agr.Sc saat memberikan kuliah perdana selaku ketua
prodi program Pascasarjana Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan pada
hari sabtu tanggal 17 September 2016.
Sebelum
memutuskan untuk mengenyam pendidikan pascasarjana di Universitas Bengkulu yang
sedang saya jalani saat ini, saya menghabiskan waktu 4 tahun (8 semester)
mempelajari dan mendalami ilmu Geofisika di Sekolah Tinggi Meteorologi,
Klimatologi, dan Geofisika. Saya tertarik mempelajari “rumah” tempat kita
berpijak, bernaung, dan menghabiskan masa hidup kita. Melihat lebih jauh ke
dalam inti Bumi, mengamati karakteristik fisis Bumi, mempelajarinya
dinamikanya, dan mencari korelasinya dengan kehidupan di muka Bumi.
Seorang
Geofisikawan dituntut harus memahami dinamika Bumi, khususnya tatanan Tektonik (tectonic setting) setiap wilayah.
Geofisikawan BMKG dibekali ilmu tentang tatanan tektonik dunia dan
keterkaitannya dengan bencana Gempa Bumi; khususnya di wilayah Indonesia dan
sekitarnya.
1.2 Profesi
yang ditekuni Sekarang
Terhitung
sejak bulan Oktober tahun 2012, saya resmi menjadi pegawai tetap di Badan
Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika dan bertugas di Unit Pelayanan Teknis
(UPT) Stasiun Geofisika Klas III Kabupaten Kepahiang, Provinsi Bengkulu.
Profesi menjadi Geofisikawan telah saya tekuni dan jalani hingga kurang lebih 4
tahun hingga saat ini.
Profesi
yang saya jalani sekarang mewajibkan saya untuk bekerja sebagai Pengamat
Meteorologi dan Geofisika dengan jam kerja 6 jam sehari / 150 jam selama
sebulan. Menjadi Geofisikawan yang bertugas di daerah yang tergolong rawan
ancaman Gempa Bumi memberikan pengalaman yang sangat berharga bagi saya
pribadi. Statistik gempabumi yang tercatat di daerah Bengkulu (yang menjadi
cakupan wilayah kerja saya) kurang lebih 50 kejadian gempabumi (event) di
setiap bulan. Kejadian gempabumi tersebut didominasi kejadian gempabumi lokal
(Local event) dengan Magnitudo (kekuatan gempa) M ≤ 3 SR.
Frekuensi
kejadian gempabumi yang cukup tinggi di wilayah Bengkulu tentunya menyita
atensi serta menuntut kedisiplinan para Geofisikawan untuk selalu waspada di
setiap jam tugasnya. Akan lebih khusus jika kejadian gempabumi tersebut
berlokasi di laut dan berpotensi Tsunami.
1.3 Kajian
Ilmu yang akan ditekuni (Pascasarjana)
Mengingat
profesi saya bersentuhan langsung dengan lingkungan, maka saya tertarik untuk
memperbanyak ilmu saya khususnya tentang sumber daya alam dan lingkungan.
Ada
dua hal utama menurut saya yang menjadikan saya begitu antusias mendalami
kajian ilmu pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan. Kedua hal tersebut
adalah keseuaian (harmony) dan
keberlanjutan (sustainibility).
Bagaimana
manusia harus hidup berdampingan dengan alam dalam sebuah harmoni. Ketika
segala tindakan manusia tidak merusak alam sekitarnya serta ketika alam sekitar
menyediakan sumber daya yang selalu cukup bagi keberlanjutan hidup manusia di
muka Bumi ini.
Saya
ingin mengetahui lebih jauh mengenai bagaimana segala sistem kehidupan di atas
muka Bumi ini saling berkaitan. Bagaimana manusia semestinya menjalani
kehidupan agar menyatu dalam harmoni dengan Bumi tempat ia berpijak. Saya juga
akan mempelajari bagaimana sejatinya ilmu pengetahuan yang telah ada dan yang
sedang berkembang, hasil pemikiran manusia sejak dahulu hingga saat ini, agar
bisa bermanfaat bagi terciptanya tatanan kehidupan yang berkelanjutan
(sustainable).
Perlahan,
wawasan berfikir saya mulai diperluas dengan adanya kuliah dasar-dasar
pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan. Berbagai pertanyaan saya perlahan
mulai terjawab; mulai dari kuliah Ekologi umum hingga Filsafat Ilmu. Harapan
saya, ilmu dan pemahaman saya tentang alam & lingkungan akan semakin luas,
sehingga saya mampu menjadi agent of
change, tentunya agen perubahan yang mengarah ke tatanan kehidupan yang
lebih baik tanpa mengabaikan daya dukung lingkungan dan aspek sustainibiltas.
BAB II
DWIFUNGSI
ILMUWAN
2.1 Fungsi
Pribadi
Berdasarkan
pengertiannya, seorang ilmuwan adalah dia yang terlibat dalam suatu kegiatan
sistematis untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan tersebut bisa
berupa pemahaman yang lebih komprehensif tentang alam semesta dan segala
fenomenanya.
Dengan
bekal ilmu pengetahuan yang dimilikinya mengharuskan seorang ilmuwan menjalani
fungsi ganda; yakni berilmu untuk personalia dan sumbangsih ilmunya untuk
kehidupan sosial
Berilmu
atau memiliki ilmu tentunya memberikan manfaat dan menjadi nilai tambah
tersendiri bagi siapapun. Secara pribadi, dengan menjadi ilmuwan dan memiliki
ilmu di atas rata-rata tentang suatu bidang kajian tertentu, tentunya bisa
membuat hidup saya lebih sistematis, tertata, dan mudah untuk dijalani.
Memiliki
pola pikir ilmiah membuat hidup akan semakin simpel. Kita akan mampu melihat
segala persoalan yang ada, merunutnya satu persatu, memilah dan mencari akar
persoalannya, kemudian kita akan mengerahkan segala kemampuan berfikir untuk
mendapatkan solusinya. Jadi, secara pribadi, dengan menjadi ilmuwan dan
memiliki pola pikir ilmiah, akan membuat saya lebih mudah dan tidak mudah
berlarut-larut menghadapi segala persoalan yang bersentuhan langsung dengan
hidup saya.
Manfaat
bagi saya pribadi, dengan menjadi ilmuwan serta merta membuat cara berpikir (mindset) saya menjadi lebih kritis dan
berpola. Lebih intens dalam melihat segala sesuatu; tak sekedar melihat secara
visual tapi mengobservasi hingga detail. Selalu mempertanyakan segala yang ada;
selalu melibatkan otak untuk bernalar. Berbekal ilmu pengetahuan yang sudah
saya miliki, hidup terasa lebih lengkap dan dinamis; penuh petualangan seru
karena di balik tanya, ada jawaban yang menanti untuk disingkap.
Dengan
memiliki ilmu pengetahuan, setidaknya saya bisa memuaskan dahaga ego saya yang
berangkat dari rasa heran dan kesangsian akan beberapa realitas yang ada.
Dengan ilmu pengetahuan juga saya mampu menyadari segala keterbatasan saya
sebagai manusia; bahwa saya begitu kecil dan sedang berpijak di salah satu
planet yang menjadi bagian kecil dari semesta yang maha luas.
2.2 Fungsi
Sosial
Seorang
ilmuwan yang telah mengembangkan potensi akalnya dan memanfaatkannya demi
pencerahan dirinya tentunya mempunyai tanggung jawab moral untuk
mengaplikasikan ilmunya dalam kehidupan bermasyarakat.
Semua
penelaahan ilmiah pastinya diawali dengan menentukan masalah. Hal ini juga sama
saat proses pengambilan keputusan dalam hidup bermasyarakat. Sang pengambil
keputusan (decission maker) tentunya
harus mampu menyadari permasalahan yang sedang terjadi di sekitarnya. (
Beberapa
masalah begitu rumit dan esoterik sehingga pemahaman masyarakat awam tidak
mampu menjangkaunya; bahkan sekedar untuk menyadari eksistensi dari masalah
tersebut. Di sini, peran seorang ilmuwan (saintis) sangat diperlukan.
Partisipasi ilmuwan menjadi sesuatu yang imperatif. Dengan latar belakang ilmu
pengetahuan yang cukup, sang ilmuwan mampu menempatkan masalah pada proporsi
yang sebenarnya. Kemampuan tersebut menjadikan peran saintis adalah
menyampaikan hal yang telah dia ketahui kepada masyarakat banyak dalam bahasa
yang dapat dicerna khalayak umum.
Konkretisasi
dari fungsi sosial ini, dalam kaitannya dengan bidang keilmuan saya, yakni menjadi seorang Geosaintis dan sudah saya
jalani sejak Oktober 2012 silam. Manifestasi pengabdian ilmu saya yakni menjadi
pengamat Meteorologi dan Geofisika yang mengabdi pada instansi Badan
Meteorologi, Klimatologi, Geofisika dan bertugas di Unit Pelayanan Teknis
Stasiun Geofisika Kepahiang.
Hingga
saat ini, tugas utama saya adalah memantau, menganalisa, dan memberitahu. Saya
memantau pergerakan lempeng Bumi dalam rupa rekaman digital respon instrumen
kegempaan milik BMKG yang tersebar di segenap penjuru dalam wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Selanjutnya, dengan bekal ilmu pengetahuan yang
saya miliki, saya harus menganalisa segala kejadian gempabumi yang terjadi di
wilayah Bengkulu dan sekitarnya. Hasil analisa tersebut wajib dipublikasikan di
web group internal BMKG. Sekiranya gempabumi tersebut dirasakan dan atau berkekuatan di atas 5 Skala Richter atau
dengan kata lain,berpotensi mengancam jiwa-jiwa manusia di sekitar pusatnya (episenter), maka akan segera
dipublikasikan sesuai standard operating procedure (SOP) disseminasi informasi gempabumi BMKG.
Pekerjaan
yang telah saya jalani ini sudah merepresentasikan tanggung jawab saya sebagai
ilmuwan Geofisika; khusunya memenuhi fungsi sosial ilmuwan.
BAB III
ASPEK ONTOLOGIS,
EPISTEMOLOGIS, DAN AKSIOLOGI
3.1 Aspek Ontologis
Mengapa Bidang
Geofisika Ada dan Perlu Ada
Manusia adalah
mahkluk superior ketika menempatkan dirinya dengan semesta. Dia akan selalu
mempertanyakan segala hal yang berkaitan dengan keberadaannya di dunia ini.
Manusia mencari tahu hubungan dirinya dengan hewan di sekitarnya, dengan
tumbuh-tumbuhan, dengan bebatuan di sekitarnya, bahkan dengan bintang-bintang
yang bertaburan di angkasa; dengan maksud agar mampu menemukan kaitannya dengan
keberlangsungan hidup manusia. Semua jawaban atas pencaharian tersebut kemudian
menjadi suatu ilmu pengetahuan bagi manusia.
Sebagai
ilmu pengetahuan, ilmu geofisika juga lahir karena sifat dasar manusia sebagai
mahkluk yang selalu berpikir dan bertanya. Ilmu pengetahuan geofisika adalah
jawaban atas segala pertanyaan awal manusia tentang planet Bumi yang dihuninya;
tentang segala hal fisik yang nampak pada penglihatannya. Ada 2 faktor pemicu
kenapa disiplin ilmu geofisika ada. Pertama, untuk memenuhi rasa ingin tahu
manusia tentang planet yang dihuninya dan kaitannya dengan dirinya. Kedua,
faktor nilai ekonomis yakni bagaimana manusia bisa memanfaatkan segala sumber
daya yang terkandung dalam Bumi demi kemudahan hidupnya.
Secara
etimologis, kata Geofisika atau Geophysic
(English) pertama kali digunakan pada
tahun 1834 oleh Julius Frobel, seorang Jurnalis berkebangsaan Swiss. Dia
menyebutnya sebagai “geophysik”
ketika berdiskusi melalui surat dengan gurunya, Christian F. Schonbein.
Penggunaan kata “geofisika” mulai menyebar secara sporadis pada tahun 1860
hingga 1870 di wilayah Jerman. Adolph Muhry pertama kali mengasosiasikan
Geofisika dengan Meteorologi dan Klimatologi. Pada tahun 1940, John Herschel
mulai mendefinisikannya sebagai fisis Bumi (Terrestrial
physics). Geofisika adalah ilmu yang mempelajari fisik Bumi secara keseluruhan,
mulai dari permukaan (surface) hingga ke inti Bumi (inner core).
Sebagai
pembanding, ilmu Geofisika sama halnya dengan ilmu Geografi yang lebih
familiar; yakni sama-sama menjadikan Bumi sebagai objek yang dipelajari.
Richter (1958) dalam bukunya “Elementary
Seismology” mendefinisikan ilmu Geografi sebagai sebuah studi tentang
permukaan Bumi dan semua area yang menjadi tempat hunian manusia (the home of man).” Dari definisi tersebut, yang menjadi pembeda
antara ilmu Geografi dan Geofisika adalah faktor cakupannya; yakni ilmu
Geofisika mempelajari segala hal fisis tentang Bumi, mulai dari permukaannya
hingga ke inti Bumi, baik dengan pengamatan langsung ataupun melalui pemodelan.
Singkatnya, segala ilmu kebumian tentunya menempatkan fokus pembelajarannya
pada dua hal utama, yakni Bumi (the
Earth) dan Manusia (Man).
Jadi,
ilmu pengetahuan Geofisika ada karena manusia ingin tahu tentang Bumi tempat ia
berdiam; tak hanya sekedar fisis Bumi yang tampak pada mata manusia, tapi lebih
jauh tentang segala proses dinamis yang sedang dan akan terus berlangsung. Kajian tentang fisis Bumi perlu ada karena
hingga saat ini, Bumi adalah satu-satunya rumah yang kita miliki. Bumi yang
kita pijaki adalah Bumi yang sama dihuni oleh para pendahulu (ancestors) kita, dan akan tetap sama
dengan Bumi yang kelak menjadi pijakan bagi anak-cucu kita. No Earth, No Life !
3.2 Aspek Epistemologis
Bagaimana
Ilmu Geofisika disusun dan Berkembang
Perkembangan ilmu geofisika diawali
dengan adanya ilmu geografi. Ilmu geofisika adalah sains kebumian (Earth science), maka awal terbentuknya
ilmu geofisika adalah saat manusia mulai menyadari tentang eksistensi dirinya
dan Bumi tempat ia berpijak.
Secara garis besar, perkembangan ilmu
Geofisika terbagi menjadi 3 periode yakni periode klasik berdasarkan observasi,
periode analitik menggunakan instrumen, dan abad 20 hingga saat ini.
Perkembangan ilmu geofisika pada periode
klasik masih sangat sederhana. Manusia hanya bermodal mata untuk mengobservasi
dan otak untuk bernalar, maka tak heran lebih banyak bapak keilmuan ini adalah
para filsuf.
Lowrie (2007) dalam bukunya berjudul “Fundamentals of Geophysics” menjelaskan
bahwa pada zaman dahulu, manusia hanya dapat berspekulasi tentang keadaan alam
sekitarnya. Manusia pertama yang menduga bentuk Bumi berdasarkan bukti ilmiah
adalah seorang filsuf dan seorang ahli matematika bernama Eratosthenes (275-195
SM).
Ada 3 karya yang dapat kita jadikan
acuan untuk melihat bagaimana perkembangan ilmu geofisika pada periode klasik.
ke tiga karya tersebut antara lain :
1.
Meteorologica
karya Aristoteles.
Merupakan
sebuah tulisan tentang pemahaman Aristoteles mengenai udara dan air, tentang
segala bagian Bumi dan pengaruhnya, termasuk penguapan air, gempabumi, dan
fenomena cuaca; ditulis pada tahun 350 SM , diterjemahkan dalam bahasa inggris
oleh E.W.Webster.
Berikut
kutipan tentang 4 elemen dalam buku Meteorologica
karya Aristoteles:
"...four
bodies are fire, air, water, earth." (339a15-16)
"Fire
occupies the highest place among them all, earth the lowest, and two elements
correspond to these in their relation to one another, air being nearest to
fire, water to earth." (339a16-19)
Juga
berikut :
The
earth is surrounded by water, just as that is by the sphere of air, and that
again by the sphere called that of fire." (354b23-25)
Aristoteles
mendeskripsikan tentang sebuah sferis/lingkaran berupa Litosfer (Bumi),
Hidrosfer (Air) dan Atmosfer (Udara dan Api).
2.
Naturalis
Historia karya Pliny The Elder.
Merupakan
sebuah ensiklopedia tentang alam yg ditulis dlm bahasa Latin. Isinya berupa
pembahasan tentang berbagai macam kajian ilmu, antara lain astronomi,
matematika, geografi, etnografi, antropologi, fisiologi manusia, zoologi,
botani, agrikultur, hortikultur, farmasi, pertambangan, dan mineralogi.
3.
Geographica
karya Strabo.
Strabo
adalah seorang filsuf dan ahli geografi dari Yunani yang lahir pada tahun 63
SM. Karyanya tersebut mendeskripsikan tentang sejarah berbagai kehidupan
manusia di berbagai tempat di seluruh dunia pada zamannya.
Perkembangan
ilmu Geofisika pada periode analitik menggunakan instrumen diprakarsai oleh
William Gilbert, seorang astronomer berkebangsaan Inggris. Dia mempublikasikan
hasil eksperimennya dalam karyanya berjudul De
Magnete pada tahun 1600 dan merupakan manusia yang pertamakali menyadari
mengapa jarum kompas selalu mengarah ke Utara karena ada kutub Magnet Bumi.
Pada
Tahun 1687, Isaac Newton mengemukakan dasar dasar dari teori mekanik klasik,
gravitasi, dan fenomena pasang surut. Dia mempublikasikannya dalam buku
berjudul Principia. Hasil analisis
eksperimental tersebut selanjutnya menjadi dasar bagi para ilmuwan lain untuk
mengembangkan ilmu Geofisika, antara lain oleh Pierre Bouger, Henry Cavendish,
Alexander von Humboldt, Carl Friedrich Gauss, Arthur Holmes, dan William
Thomson.
Selanjutnya,
pada abad ke 20, ilmu Geofisika mengalami revolusi masif. Ilmu tentang fisis
Bumi bagian interior dan ilmu seismologi berkembang pesat, diprakarsai oleh
beberapa ahli seismologi antara lain Emil Wiechert, Beno Gutenberg, Andrija
Mohorovicic, Harold Jeffreys, Inge Lehmann, Edward Bullard, Charles Francis
Richter, Hiroo Kanamori, dan Walter Elsasser.
Setelah
tahun 1900, ilmu geofisika mulai berkembang lagi dengan adanya teori tentang
lempeng tektonik. Berawal dari teori pergeseran benua (continental drift/Kontinentalverschiebung))
yang dikemukakan oleh Alfred Lothar Wegener, seorang geofisikawan berkebangsaan
Jerman. Selanjutnya dikembangkan lagi oleh para geofisikawan antara lain
Maurice Ewing, Robert S. Dietz, Harry Hess, Hugo Benioff, Xavier Le Pichon,
Jason Morgan, dan John Tuzo Wilson.
Ilmu
geofisika terus berkembang, hingga mulai merambah ke aplikasi industrial
seiring meningkatnya permintaan eksplorasi minyak Bumi pada tahun 1920’an.
Selanjutnya, berkembang lagi hingga adanya ilmu geofisika engineering pada tahun 1990’an yang mencakup pertambangan (mining); air bawah permukaan (groundwater), dan upaya meminimalisir
dampak bencana gempabumi (earthquake
hazard minimization).
Ilmu
geofisika yang saya miliki saat ini lebih fokus sebagai upaya meminimalisir
dampak bencana gempabumi. Saya turut berpartisipasi dalam upaya ini melalui
peran aktif sehari-hari sebagai geofisikawan yang aktif di Unit Pelayanan
Teknis Stasiun Geofisika Kepahiang, yang berkantor di Jalan Pembangunan no.56,
Pasar Ujung, Kepahiang, Bengkulu.
3.3
Aspek Aksiologi
Dengan
melihat aspek ontologi dan memahami epistemologi ilmu geofisika yang telah
dijelaskan, maka manfaat dari bidang kajian ini sangat luas. Para geofisikawan
memegang peran vital dalam sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, khususnya
geofisikawan dengan spesialisasi bencana gempabumi dan tsunami.
Seorang
geofisikawan juga dapat memanfaatkan ilmunya untuk melihat Bumi secara lebih
mendetail, dari permukaan hingga ke inti Bumi. Dengan demikian, secara
keseluruhan, manfaat dari ilmu yang saya kaji ini adalah pertama dan utama,
untuk pengurangan resiko bencana gempabumi (disaster
risk reduction).
Selain
itu, ilmu geofisika yang saya miliki juga bisa dipergunakan untuk melihat
potensi kandungan mineral bernilai ekonomis yang tersembunyi di bawah permukaan
ataupun sebagai acuan dasar dalam menentukan lokasi hunian yang nyaman, aman,
dan strategis.
Singkatnya,
dengan ilmu geofisika yang saya miliki, kehidupan bagai puzzle yang indah; dengan secuil misteri telah tersingkap.
Mengetahui dinamika di inti Bumi, melihat wajah Bumi ratusan juta tahun yang
lalu, melihat model wajah Bumi di ribuan tahun yang akan datang, semua itu
memberikan kesenangan tersendiri bagi saya; tentunya setelah keseangan utama :
melayani informasi gempabumi 24 jam sehari,7 hari sepekan.
BAB IV
SIKAP ILMIAH DAN MORAL
4.1Sains
dan Moral
Apakah manusia dengan daya nalar
yang tinggi lantas semakin berbudi sebab moral mereka dilandasi analisis yang
hakiki? Atau sebaliknya, menjadikannya semakin cerdas untuk berdusta dan
berkelit?
Idealnya, manusia yang terdidik
harusnya semakin takwa, ibarat tanaman padi; semakin berisi semakin merunduk,
semakin tahu semakin sadar akan eksistensinya dalam semesta yang super luas.
Dia yang bermoral luhur dan estetik, siap menjadi mahkluk yang berusaha maju
dan mau bekerja keras karena dalam bekerja manusia menemukan siapa dirinya;
siap berkontribusi bukan sekedar hadir dan eksis melulu. Menjadi manusia dengan
daya nalar tajam yang filantropis, tanpa mengesampingkan segala nilai humanis.
Sam Harris (2010) dalam bukunya
berjudul “The Moral Landscape : How
Science Can Determine Human Values,” menegaskan bahwa tujuan sains bukanlah
membawa evolusi atau penjelasan neurobiologis tentang tindakan manusia atas
nama moralitas atau standar moralitas itu sendiri. Sebaliknya, sains dapat
membantu manusia untuk mendapatkan apa yang sebenarnya dikehendakinya. Sains
dapat membantu manusia untuk memilah apa yang harus dan apa yang tak seharusnya
kita perbuat; bahwa pasti ada jawaban benar atau salah terhadap pertanyaan
moral, sama halnya dengan jawaban benar atau salah terhadap pertanyaan fisika.
Dengan pemahaman yang lebih tinggi,
setidaknya ada 3 hal yang bisa kita lakukan:
1.
Kita dapat menjelaskan mengapa manusia
bertindak berdasarkan suatu pola pikiran dan tingkah laku yang bermacam-macam.
2.
Kita dapat berpikir lebih jelas tentang
standar moral yang sudah ada, dan bisa mempertimbangkannya jika yang sudah ada
ternyata tidak membawa kebaikan.
3.
Kita dapat menyadarkan sesama kita yang
berpola pikir dungu dan bertindak keji atas nama komitmen moral.
4.2
Filter Antara Rasio dan Moral di bidang Geofisika
Dengan daya nalar dan analisis yang
mumpuni sebagai geofisikawan, tentu saya juga harus mempertimbangkan aspek
moral saat memberi argumen dan opini. Pikiran harus benar benar terbuka
(open-minded) dan benar-benar objektif tanpa terpengaruh keinginan subjektif.
Informasi yang tersampaikan adalah benar-benar informasi faktual dan tepat
berdasarkan kalkulasi dan analisis yang mumpuni, tanpa ada niatan mengaburkan
fakta demi apapun tujuannya. Misal, ketika ada gempabumi yang terjadi dengan
kekuatan 4.2 SR, maka yang disampaikan adalah gempa dengan kekuatan 4.2 SR,
bukan lebih besar dengan pertimbangan agar lebih riuh menyita atensi supermasif
dari segala penjuru. Atau pemalsuan informasi gempabumi untuk menakut-nakuti
piha tertentu.
Selain itu, contoh konkret, misal
dalam hal memberikan wawasan mengenai zona aman gempabumi pada masyarakat yang
sudah ratusan tahun mewarisi tanah leluhurnya. Tentunya tidak serta merta saya
langsung menyampaikan realitas bahwa lokasi hunian tersebut berbahaya dan
menyuruh mereka pindah. Sebagai ilmuwan, saya akan memikirkan solusi terbaik
untuk persoalan tersebut. Misal dengan membangun hunian yang tahan gempa, atau
mempertimbangkan arah bangunan dan koefisien bangunan. Dalam hal ini, filter
antar rasionalitas dan moralitas harus berjalan bersama; bukan mengedepankan
yang satu dan melupakan yang lain.
BAB V
KESIMPULAN
Setelah
melihat kembali perjalana karier dan pola pendidikan yang telah saya tempuh
serta menelaah tentang bidang kajian ilmu pengetahuan geofisika, maka saya
dapat menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut :
1. Ilmu
pengetahuan geofisika berakar dari ilmu geografi, yang sudah ada sejak periode
klasik dalam sejara umat manusia dan diprakarsai oleh seorang filsuf dan ahli
matematika bernama Eratosthenes dari Cyrene yang juga dijuluki sebagai Father of Geography
2. Ilmu
pengetahuan Geofisika ada karena manusia ingin tahu tentang Bumi tempat ia
berdiam; tak hanya sekedar fisis Bumi yang tampak pada mata manusia, tapi lebih
jauh tentang segala proses dinamis yang sedang dan akan terus berlangsung
3. Rasio
dan moralitas harus berimbang. Manusia yang terdidik harusnya semakin takwa,
ibarat tanaman padi; semakin berisi semakin merunduk, semakin tahu semakin
sadar akan eksistensinya dalam semesta yang super luas.
4. Ilmu
pengetahuan dan teknologi hasil temuan manusia sesungguhnya adalah sarana bagi
kehidupan yang lebih baik.
Daftar Pustaka
1. Harris,
Sam. 2010. The Moral Landscape : How
Science Can Determine Human Values. Free Press, a division of Simon and
Schuster Inc.
2. King,
Chris. 2010. The Planet We Live On : The
Beginning of Earth Sciences : Book 6. Creative Commons Attribution.
3. Lowrie,
William.2007. Fundamental of Geophysics :
second edition. Cambridge University Press. United Kingdom
4. Reynolds,
John M. 1997. An Introduction to Applied
and Environmental Geophysics. Baffins Lane, West Sussex, England
5. Richter,
C. F. 1958. Elementary Seismology. W.
H. Freeman and company, San Fransisco, London
6. Suriasumantri,
Jujun S. 2013. Filsafat Ilmu : Sebuah
Pengantar Populer. Pustaka Sinar Harapan.
Comments
Post a Comment